SELAMAT DATANG DI BLOG MEDIA PEMBELAJARAN
0

Model Pembelajaran



MODEL BELAJAR
A.   Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan dan tuntutan masyarakat modern.
Salah satu ciri masyarakat modern adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik (improvement oriented). Hal ini tentu saja menyangkut berbagai bidang, tidak terkecuali bidang pendidikan. Komponen yang melekat pada pendidikan diantaranya  adalah kurikulum, guru dan siswa.
Dalam proses pembelajaran keberadaan  guru sangatlah urgen, karena guru yang menentukan, apakah tujuan  pembelajaran tercapai atau tidak?, bagaimana kompetensi siswa ?
Hasil studi menyebutkan bahwa meski adanya peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namum pembelajaran dan pemahaman siswa di tingkat dasar termasuk Madrasah Ibtidaiyah pada beberapa materi pelajaran menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pembelajaran di tingkat sekolah dasar atau
Madrasah Ibtidaiyah  cenderung text book oriented  dan kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran konsep cenderung abstrak dan dengan metode ceramah, sehingga konsep-konsep akademik kurang bisa atau sulit dipahami. Sementara itu kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata lain tidak melakukan pengajaran bermakna, metode yang digunakan kurang bervariasi, dan sebagai akibat motivasi belajar  siswa menjadi sulit ditumbuhkan dan pola belajar cenderung menghafal dan mekanistis (Direktorat PLP, 2002).
Menurut pendapat oleh Peter Sheal (1989) sesuai dengan “Kerucut Pengalaman Belajar” Dia menyatakan (hasil penelitian) bahwa peserta didik yang hanya mengandalkan “penglihatan” dan “pendengaran” dalam proses pembelajarannya akan memperoleh daya serap kurang dari 50%. Di sisi lain, dalam melaksanakan proses belajar mengajar, kurang dari 20% guru yang menggunakan alat bantu pembelajaran. Kurang dari 30% guru yang selalu mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga wajar apabila evaluasi hasil belajar hasilnya belum seperti yang di harapkan.
Dampak lain dari proses pembelajaran tersebut adalah siswa lebih sering menonton gurunya mengajar dari pada memperhatikan  guru mengajar. Sehingga guru yang “lucu” apalagi memberi nilai “murah” akan menjadi favorit para siswa. Akankah hal seperti ini kita biarkan atau bahkan dipertahankan? Atau kita akan mendobrak dengan langkah baru? Apa yang kita lakukan dalam menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  itu akan menentukan siapa diri kita sebenarnya. Apakah kita termasuk penganut status quo atau menjadi agent of change? Guru yang ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik, memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Mencermati hal tersebut di atas, perlu adanya perubahan dan pembaharuan, inovasi ataupun gerakan perubahan mind set kearah pencapaian tujuan pendidikan pada umumnya dan khususnya tujuan pembelajaran. Pembelajaran matematika hendaknya lebih bervariasi metode maupun strateginya guna mengoptimalkan potensi siswa. Upaya-upaya guru dalam mengatur dan memberdayakan berbagai variabel pembelajaran, merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan  yang direncanakan. Karena itu pemilihan metode, strategi dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran yang berguna dalam mencapai iklim  PAKEM ( Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan ) adalah tuntutan yang harus diupayakan oleh guru.
Keanekaragaman model pembelajaran yang hendak di sampaikan pada makalah ini merupakan upaya bagaimana menyediakan berbagai alternatif dalam strategi pembelajaran yang hendak disampaikan agar selaras dengan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik pada jenjang Sekolah Dasar (SD) atau Madrsah Ibtidaiyah (MI). Ini berarti tidak ada model pembelajaran yang paling baik, atau model pembelajaran yang satu lebih baik dari model pembelajaran yang lain. Baik tidaknya suatu model pembelajaran atau pemilihan suatu model pembelajaran akan tergantung pada tujuan pembelajaran, kesesuaian dengan materi yang hendak disampaikan, perkembangan peserta didik, dan juga kemampuan guru dalam mengelola dan memberdayakan semua sumber belajar yang ada. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah psikologi pendidikan kami menarik kesimpulan untuk membuat makalah mengenai model belajaran yang berkaitan langsung dengan implikasi model belajaran dalam praksis pembelajaran.
B.   Teori Model Belajar
Model merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Istilah Model Pembelajaran (model of teaching) sebagaimana dijelaskan Toeti dan Sarifudin (1996:78), model pembelajaran didifinisikan sebagai suatu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagi pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Sudrajat, (2008: 2) juga menjelaskan tentang model pembelajaran, yaitu sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas.
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve alearning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu :
1.    Syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran.
2.    Social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran.
3.    Principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa.
4.    Support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan
5.    Instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Ada berbagai model belajar dalam pembelajaran diantaranya:
1.    Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.
Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna.
2.    Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.
3.    Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4.    Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5.    Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.
6.    Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).

C.   Implikasi Model Belajar Dalam Praksis Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu bahan pembelajaran yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai  dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang actual yang kadang-kadang kompleks. Siswa perlu didorong agar ia tidak takut pada hal-hal yang komplek. Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan dipahami.
Belajar secara konstruktivis, siswa harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai sumber. Di kelas siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan mempertimbangkan sumber data alternatif.
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pembelajaran konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa. Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran siswa. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang berbeda.
Pembelajaran konstruktivisme mementingkan pengembangan lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari perspektif ganda, dan informasi yang efektif atau kontrol eksternal yang teliti dari peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut, guru perlu melakukan hal-hal berikut: (1) menyajikan masalah-masalah aktual kepada siswa dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (2) pembelajaran distrukturkan di sekitar konsep-konsep primer, (3) memberi dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri, (4) memberikan siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, (5) memberanikan siswa mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya, (6) menantang siswa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar menyelesaikan tugas, (7) menganjurkan siswa bekerja dalam kelompok, (8) mendorong siswa untuk berani menerima tanggung jawab, dan (9) menilai proses dan hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut; (1) menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran beriku tstrategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman   belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka agar siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu.
Dalam aliran kostruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik hubungan guru-siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik berikut ini: (1) hubungan antara guru dengan siswa diupayakan terjadi secara optimal, (2) pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan siswa untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap siswa yang umumnya bekerja dalam kelompok, (4) aktivitas siswa lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi, (5) aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan siswa berpikir.

D.   Kesimpulan
Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku.
model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu :
1.    Syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran.
2.    Social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran.
3.    Principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa.
4.    Support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan
5.    Instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
E.   Daftar Pustaka
6.    Dimyati & Mudjiono. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
7.    Suyono & Harianto. 2007. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakaarya.
8.    Annurrahman. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.




0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top
animasi blog